Entri Populer

Minggu, 11 September 2016

Suka dukanya ikut open trip

Sambil ditemani takbir yang saling sahut diluar sana, saya mau berbagi pengalaman suka dukanya ikut open trip. Pertama, sukanya open trip:
Namanya juga open udah pasti lebih low budget, karena biasanya biaya perjalanan bisa hemat dengan banyaknya peserta yang join. Minimal biasanya dibatasi 10-15 peserta, tergantung tujuan tempat wisata. So, bisa disebut traveling ala backpacker.
Kamu bisa ketemu teman baru, karena judulnya open trip, maka kamu bisa kenalan dan berbagi pengalaman sama teman baru yang hobi traveling juga. Kalau beruntung bisa tukaran nomor hape terus lanjut... Eh!
Kamu nggak ngerasa sendiri. Kenapa?! Biasanya open trip menyediakan penginapan homestay, jadi kamu ngerasa ada di rumah sendiri. Punya teman baru yang berasa keluarga sendiri, biar cuma 3 hari 2 malam, tapi berasa lengket karena kena air laut, eh maksudnya karena sama-sama terus.

Dukanya open trip:
Selain asik ketemu teman baru, artinya kamu wajib menerima karakter & watak mereka yang biasa & luar biasa. Kamu si super bersih ketemu teman si jorok, kamu si ontime ketemu teman ntar-ntaran, ah sudahlah ... Kuncinya biar traveling kamu seru, ya kompromi & terima ajah.
Colokan listrik adalah oase di padang pasir. Bayangin tujuan wisata kamu ke sebuah pulau yang hanya ada listrik dari jam 6 sore sampai 6 pagi, 15 orang berebut colokan belum si pemilik rumah ditambah lagi crew. Kalian harus ngalah hape atau kamera yang di isi.
Mandi bareng biar hemat waktu. Kalau saya cewek selalu begini tiap open trip hehe nggak masalah, kalau cowok belum pernah sampai detik ini mereka mandi bareng.

Mungkin banyak lagi tapi belum kepikiran. Keseluruhan open trip itu lebih punya banyak cerita karena bertemu teman beragam latar. Nggak cuma cerita pengalaman traveling aja tapi kehidupan nyata mereka. Mereka yang seorang banker, pengacara, fotografer, dll Jadi tambah pinter!

Rabu, 17 Agustus 2016

Saya (masih) Pegawai Outsourcing

Kibaran merah putih

Saya sudah 6 tahun  berstatus pegawai outsourcing di salah satu perusahaan BUMN (7 Juli 2010 – sekarang Agustus tahun 2016). Selepas menyandang S.sos, saya bekerja di sini, unit marketing sangat membutuhkan tenaga tambahan. Karena berkali-kali sempat patah arang sulitnya mendapat pekerjaan, tidak melewatkan kesempatan. Apply sana-sini dari Bank, Swasta, statsiun TV, CPNS, dll tes dan interview ini-itu dengan hasil penjatuhan mental dari seorang HRD, penolakan dengan alasan lucu, dan pengharapan palsu menunggu panggilan selanjutnya 3 hari, 1 minggu, 2 minggu, hingga 1 bulan saya menunggu dan sudahlah…
Teman-teman seperjuangan pencari kerja, satu-persatu sudah bekerja di berbagai bidang, mungkin garis Tuhan yang membawa saya ke perusahaan BUMN ini, tanpa tahu saya akan bekerja apa saat itu. Kenapa mungkin, karena sejak saya bekerja di sini tak ada satu pun perusahaan lain yang menghubungi untuk tes atau wawancara. Kemana belasan surat lamaran saya itu?!
Berjalan waktu, saya bekerja dengan belajar secara otodidak (tanpa training) dari nol jauh dari ilmu yang saya peroleh di tempat kuliah, kelamaan saya menikmati pekerjaan ini terkadang jadi kurir, olah data sistem, dan petugas fotokopi. Sedikit info, jobdesk saya sebagai sales marketing menawarkan dan mendealkan produk ke pelanggan, kenyataannya saya bekerja di belakang layar perusahaan ini mengurus A sampai Z fee salesnya. Bahkan meng-handle pekerjaan 1-3 orang pegawai tetap sekaligus. Saya lebih baik, ada garda terdepan, petugas jaringan kabel yang siang terik bekerja menghubungkan komunikasi pelanggan.
Berstatus sebagai pegawai PKWT/kontrak (Perjanjian Kontrak Waktu Tertentu) di koperasi pegawai (Kopeg) selama 2 tahun, pegawai koperasi yang tidak bisa menjadi anggota koperasi karena bukan pegawai BUMN di situ. Januari 2013, terjadi penyesuaian dimana koperasi tidak boleh mengelola jasa tenaga kerja, dari sini saya makin paham siapa saya di BUMN ini, status saya adalah pegawai kontrak outsourcing. Sejak itu sampai sekarang, di bawah naungan anak perusahaan sang BUMN, saya menandatangani surat kontrak masa kerja 1 tahun. Pembaharuan kontrak tiap 1 tahun sekali, masa kerja 1 tahun dan penyesuaian UMP (Upah Minimum Propinsi) sesuai ketetapan UU. Ya, saya hanya digaji Upah Minimum tanpa tambahan uang transport, makan, bahkan jabatan (kalian bukan siapa-siapa di sini). Pegawai outsourcing pasti dianggap robot, tidak perlu makan dan ongkos jalan. Luar biasa!
Awalnya hanya batu loncatan “belajar” bekerja, tapi ilmu dan kepercayaan yang diberikan membuat saya terlena di perusahaan ini. Semakin mau belajar, semakin pintar, semakin bertambah pekerjaan yang diberi, dan semakin banyak pujiaan yang didapat. Begitu kiranya poin awal bekerja yang saya dapat. Sekali lagi, saya bukan siapa-siapa di tempat ini, tanggung jawab pekerjaan yang sama tapi hanya dihargai upah minimum, adilkah?!. 6 tahun di perusahaan ini membuat saya kenal betul tiap detailnya. Saya tahu fasilitas apa saja yang mereka dapat dan hak-hak lainya yang mereka peroleh, dan saya tidak. Kenapa saya bisa tahu?! Saya beruntung berada di lingkungan core bussiness, info-info seperti itu seperti rahasia umum.
Pegawai outsourcing seperti kisah kelam yang disembunyikan rapat-rapat, saat yang sama pemberitaan perusahaan ini wara-wiri di portal berita online dengan meraup keuntungan sekian triliyun serta penghargaan hebat lainnya. Saya tahu berapa besaran bonus  yang mereka terima belum lama ini, jangan tanya berapa, rasanya tak etis menyebutnya. Kebijakan internal membuat kami pegawai outsourcing juga menerima “kebahagian” mereka, sekali lagi jangan tanya berapa, nilai positifnya management perusahaan masih ingat “ada” kami. Sebagai minoritas, pegawai outsurcing, akan ada istilah (entah siapa yang buat) di BUMN ini: Pegawai tetap disebut karyawan/organik dan Pegawai outsourcing disebut anak outsourcing/Tenaga Kontrak. Itu salah satu contoh kecil diskriminatif yang saya terima, belum lagi perbedaan seragam pegawai, gaji, fasilitas, dll.
Buya Hamka berkata, “…kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.”
Bukan saya sedang tidak bersyukur, tapi sabar, nerima, dan bersyukur sudah jadi obat saat merasa ketidakadilan. Saya juga bagian dari perusahaan ini  dan ikut berkontribusi.  Ya, munafik tidak kalau saya bilang i love my job?!? Banyak hal yang membuat saya betah seperti lingkungan pegawai yang membuat saya seperti anak di rumah kedua dan tidak ada senioritas (bandingkan dengan kerja di swasta). Bak orang memadu kasih, sebenci apapun kalian pasti ada satu hal yang bisa membuat kalian kembali. Istilah hubungan cinta, harus ada perjuangan dan pengorbanan dari keduannya, saat saya pegawai outsourcing yang selama ini diam saja, menerima saja, sabar saja, bersyukur saja, lalu sampai kapan?! Bukankah wajar kalau saya mengharap  feedback yang setimpal ?!
Cari aja kerjaan yang lebih baik !
ini sepertinya kalimat paling solutif yang sering saya terima. Bapak/ibu itu bukan solusi, mencari pekerjaan seperti cari jodoh, sudah sesuai kriteria sampai IP tinggi kalau bukan ya tidak bakal jadi. Ada yang salah dengan sistem outsourcing !!! Perbedaan dan hak-hak yang pegawai outsourcing terima terlalu jomplang dibandingkan pegawai tetap. Beberapa permasalahan yang saya alami:
·         Sistem pembaharuan 30 hari sebelum masa kontrak habis membuat saya seperti pegawai baru yang mulai dari nol kembali, masa pengabdian kerja saya tidak diperhitungkan.
·         Tidak adanya evaluasi kerja membuat semua pegawai outsourcing dianggap sama, menjadi pegawai baru, sehingga tidak melihat latar belakang pendidikan saya, dimana jika pegawai tetap itu akan menjadi pembeda gaji dasar. Fyi, pegawai outsourcing berlatar pendidikan yang beragam dari SMA/SMK sampai D3/S1.
·         Perusahaan outsourcing sebagai penyedia jasa tenaga kerja pasti meminta fee yang ujungnya memotong upah kami, karena melanggar UU jika diupah di bawah UMP, maka diupah UMP saja, tanpa tunjangan apapun. Fyi, besaran upah yang disepakati antara perusahaan outsourcing (anak perusahaan) dengan perusahaan klien (BUMN) berbeda dengan yang di dapat pegawai outsourcing, itu karena potongan yang bisa mencapai 30%, dan kami tidak pernah tahu besarannya.
·         Tanpa bonus, uang makan, uang transport, uang skill, uang jabatan, dll. Walau di beberapa kasus ada yang dapat, tapi harganya menyedihkan.
·         Pegawai outsourcing berstatus PKWT/kontrak. Padahal PKWT/kontrak tidak untuk pekerjaan yang sifatnya tetap (pasal 59 ayat 2 UU No.13/2003). Kenyataannya, saya dan kami berada pada core bussiness yang langsung pada proses produksi.
·         Jangka waktu PKWT/kontrak paling lama adalah 3 tahun (pasal 59 ayat 4 UU No.13/2003). Saya berstatus pegawai outsourcing, 2 tahun menjadi PKWT/kontrak koperasi dan 4 tahun PKWT/kontrak anak perusahaan. Janggal?!
·         Sebagai perempuan, saya tidak memperoleh hak cuti hamil dalam kontrak kerja.
·         Saya harus membayar biaya denda sebesar 100% upah sisa masa kontrak dan tidak memperoleh pesangon jika berhenti atau diberhentikan sewaktu-waktu.
Membandingkan dengan bank atau swasta, mereka yang awalnya pegawai outsourcing memiliki kesempatan menjadi pegawai tetap, dengan tes penilaian penguasaan pekerjaannya. Tapi, saya tidak melihat kesempatan itu ada di tempat ini. Jangan tutup mata, percayalah, bisa dihitung jari berapa orang pegawai tetap di tempat ini yang betul-betul memikirkan nasib pegawai outsourcing seperti saya. Saya bukan penjilat, kalaupun penjilat, saya ingin dengan cara terpuji tanpa menjatuhkan orang lain atau mengemis hina, permasalahan outsourcing sangat kejam bagi saya yang mengalaminya langsung. Kalaupun meminta saya sabar, setidaknya berikan sabar yang ada harapan.
Pemerintah sejak tahun 1997 (solusi krisis moneter) dan 2003 (UU Ketenagakerjaan) menyetujui sistem outsourcing sebagai solusi kebijakan menyelamatkan ekonomi negara. Kini kelihatannya lebih mengeksploitasi buruh macam saya dan memperkaya pengusaha. Mirisnya, banyak pengusaha mencoba menafsirkan sendiri apa itu outsourcing karena kelemahan UU No.13 tahun 2003 ketenagakerjaan tidak mengatur detail soal outsourcing. Misalnya saja, penjelasaan pasal 64 ayat 1 UU No.13/2003, kegiatan yang boleh menggunakan jasa outsourcing antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Kata “antara lain” ditafsirkan pengusaha, selain dari pekerjaan yang disebutkan di atas dapat juga dilakukan secara outsourcing.
Ini mungkin yang dimaksud Bung Karno, “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Praktik outsourcing di tiap perusahaan pasti berbeda-beda, ada yang sesuai ketentuan dan ada juga mencoba mengakali (melanggar) untuk meningkatkan keuntungan. Sistem outsourcing merupakan kapitalisme dan outsourcing merupakan pengeksploitasian manusia. Eksploitasi menimbulkan ketimpangan kekuatan yang berdampak ketidakadilan, ketidakadilan perlu penyeimbang, dan pemerintah hadir sebagai kontrol kekuatan. UU dibuat oleh DPR/MPR yang bermayoritas pengusaha, lalu jika pemerintah berpihak pada pengusaha, kemana kami memperoleh keadilan?!
Jika tuntutan Hari Buruh hanya jadi hiburan di media tiap tahun, karena sulitnya menembus tuntutan penghapusan outsourcing ke pemerintah. Setidaknya seperti kata Dahlan Iskan saat menjabat Menteri BUMN, perusahan BUMN bisa menjadi contoh perusahaan swasta dengan mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan bisa mengangkat pegawai outsourcing menjadi pegawai tetap. Bernyalikah BUMN melakukannya?! (Oiya, ini 2016 Menterinya udah ganti, Presidennya juga).
Saya memang tidak sepintar pegawai tetap, tapi saya tidak mau menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya. Kami bisa cerdas kalau dilatih, kami bisa jadi hebat kalau diberi kesempatan, dan kami menjadi tolol kalau dimatikan ruang geraknya. Sistem outsourcing seperti “kandang” yang membuat saya tampak tolol, saya tidak diberi kesempatan berkembang. Ingat, ada ribuan pegawai outsourcing di bawah tempat ini tersebar di Indonesia dan di bawah naungan anak perusahaan yang bernasib sama.
Lalu apa yang saya lakukan ?
 Karena negeri ini lucu, yang “vokal” ditendang dan yang bermuka dua disayang. Itu artinya, jika menjadi ofensif sama saja saya mengalungi granat di leher sendiri, maka saya mengajak pembaca memahami dulu apa itu sistem outsourcing. Jangan mau terbawa arus mencaci tanpa memahami. Saya dan kami merupakan pihak lemah disini, kami pihak membutuhkan pekerjaan, salah langkah kami yang ditendang. Doakan saya dan kami selalu dilindungi Tuhan.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-71 tahun.  Ajari kami apa itu kerja nyata!
Tetap menjadi tanah air tempat ternyaman tanpa diskriminasi.
Jakarta, 17 Agustus 2016

Selasa, 26 Juli 2016

Satu Hari di Kota Semarang

Semarang termasuk kota tujuan trip saya yang selalu masuk wacana aja, tapi mumpung ke Pulau Karimun Jawa transitnya di Kota Semarang, saya nggak mau melewatkannya. Memang saya terikat banget sama waktu hanya 1 hari 1 malam. Sulit juga mengatur waktu keliling Kota Semarang hanya 1 hari apalagi kalau ngeteng.

Lawang Sewu
Lawang Sewu

Menunggu jadwal kereta peserta open trip Karimun yang lain kita mengunjungi bangunan Lawang Sewu. Tiket Rp 10.000,-/orang dengan guide local, kami diceritakan sejarah dan diajak berkeliling bangunan bekas kantor pusat Kereta Api Hindia Belanda ini.

Lawang Sewu yang berarti seribu pintu dalam bahasa Jawa, terletak di persimpangan tugu muda. Bangunan kuno art deco ini terawat dengan baik dan dibangun oleh Belanda dengan amat sangat matang tiap detailnya.
Pelataran dalam Lawang Sewu
Pohon mangga Lalijiwo di pelataran Lawang Sewu
Saya rangkum cerita ini dari cerita sang tour guide dan pengamatan saya (keren kan !). Saya berani klaim perhitungan matang karena saat Belanda membangun Kantor Pusat Kereta Api ini mereka melihat aspek geografis Kota Semarang. Kota Semarang berada di tengah Pulau Jawa, aspek strategis itu yang menyebabkan kenapa Semarang dijadikan Kantor Pusat Perkeretaapian Hindia Belanda.

Jaman dahulu jalur laut merupakan transportasi paling popular antar pulau maupun luar negeri. Tanjung Mas Semarang, menjadi pintu gerbang perdagangan Hindia Belanda di Jawa Tengah saat itu. Untuk mendistribusikan ke sekitar pulau Jawa dibutuhkan kereta api mengangkutnya.

Sejak dulu Semarang dikenal banjir, tepatnya bajir rob, karena letaknya di pesisir utara pantai Laut Jawa, maka tidak heran jika air laut seringkali membanjiri pemukiman. Bahkan saat saya mengunjungi Semarang banjir rob tengah menggenangi jalan yang saya lewati. Orang Semarang beralasan karena pantai yang seharusnya menjadi jalur air laut malah dibangun pemukiman. Jadi, manusia kan yang salah !

Mobil sempat melewati banjir rob

Karena itulah, Belanda membangun Lawang Sewu dengan banyak lubang dan saluran air di sekelilingnya. Konon ruang bawah tanah yang katanya sebagai penjara juga sebagai saluran air banjir. Ya ruang bawah tanah yang di acara TV muncul kuntilanaknya itu, beberapa waktu terakhir sudah ditutup untuk umum.

Ada 2 pintu masuk ke ruang bawah tanah tersebut. Hanya 1 yang dibuka dahulu, kenapa sudah ditutup ?! karena tiap pengunjung yang masuk pasti ada saja yang kesurupan, ngeri juga ya, maka tangga menuju ruang bawah tanah tersebut dihilangkan. Si bapak guide ini mengebu-gebu kalau nggak setuju ruang bawah tanah ditutup, karena menurutnya berpotensi sebagai wisata, misalnya wisata malam. Ah si bapak ada-ada aja, saya aja yang cuma liat lorong gelap itu merinding disko, ini malah wisata malam, ya nggak apa-apa sih, mungkin petugasnya jangan sampai capek sadarin orang kesurupan tiap waktu tiap hari.

pintu menuju ruang bawah tanah

Lawang sewu nggak benar-benar punya pintu seribu, hanya mendekati seribu. Bangunan buatan Belanda di Indonesia identik memiliki pintu dan jendela yang tinggi dan banyak, karena iklim Indonesia yang tropis. Selain ruang kantor yang selalu ada keran air di tiap sudutnya, ada juga aula tempat orang-orang Belanda berpesta, ruang pengintai di atap gedung tanpa tiang pancang, menara gedung yang diatasnya terdapat tandon air hujan, bangunan sumur, dan toilet.

Rangka perahu terbalik di atap dimanfaatkan sebagai tempat pengintai
Jendela kaca patri wanita api dan air yang sarat makna
Menara yang dimanfaatkan sebagai tandon air hujan
Tempat parkir sepeda karyawan Hindia Belanda
Nah toilet ini paling mencuri perhatian saya, selain penasaran dari cerita dari tour guide. Berasa di film Harry Potter suasana toiletnya, desain wastafel yang lebar dengan keran yang asli cap Amsterdam Belanda, serta urinoir laki-laki yang nggak seperti pada umumnya.


Lawang Sewu juga menjadi saksi bisu pertempuran lima hari para pejuang Indonesia dari Belanda. Beberapa pejuang yang mati dikubur di pekarangan samping gedung, dengan bantalan kayu kereta api sebagai penandanya. Namun, jasad pejuang tersebut sudah dipindahkan ke Makam Pahlawan.

Ada hal menarik dari si bapak tour guide Lawang Sewu saya, biar kelihatannya sudah tua dan lusuh tapi doi semangat banget cerita sejarahnya bahkan kalau coba saya revisi dia nggak mau terima :D dan doi juga pintar ambil angel foto buat tamunya dan mahir banget mengoperasikan Iphone bahkan ngatur kami buat ikutin gaya dia. Menurut saya itu full service si bapak sebagai tour guide, kerja tuntas memuaskan, manur nuwun nggih pak !
Hasil jepretan pak tour guide

Cari Hostel murah backpaker di Semarang
Plang Imam Bonjol hostel

Setelah browsing tentang penginapan murah di Semarang, Hostel Imam Bonjol jadi pilihan kami karena tersedia 1 room 4 guest Rp 300.000,-/malam . Untungnya hostel hanya 500m dari Lawang Sewu. Terletak di Jalan Imam Bonjol Semarang, bangunan berbentuk ruko diatas Alfamart.

Tempatnya bersih, ibu resepsionisnya baik, kamar mandi ada 4, air mineral sepuasnya, kamar bersih dan AC, dan tempat strategis. Karena hostel backpacker, maka jangan heran kalau banyak bule di situ.

Simpang Lima
Simpang Lima di malam hari (panorama)

Setelah Isya saya beranjak ke Simpang Lima untuk berkeliling sekalian makan malam. Jalan raya di depan hostel saya tidak ada angkot yang langsung menuju Simpang Lima. Maka saya jalan kaki ke depan Lawang Sewu, disana rata-rata angkot menuju ke Simpang Lima. Ada Mikrolet, Trans Semarang, dan Shuttle gratis.

Saya memesan tahu gimbal khas Semarang. Tahu gimbal berisi tahu putih goreng, bakwan udang, ketupat, dan kol mentah yang semuanya diiris dan disiram kuah sambel kacang, Rp 15.000,-/porsi. Teman saya yang lain memesan nasi kucing angkringan. Sekeliling Simpang Lima berjejer tenda-tenda makan, tepat untuk kulineran.
Tahu gimbal khas Semarang
Kami di angkringan Simpang Lima

Kenyang, saya berkeliling Simpang Lima, banyak penyewaan sepeda lampu warna-warni. Kami memilih duduk di bangku taman menikmati satu malam di Simpang Lima. Tak terasa waktu menunjukan hampir jam 22:00, kami kembali ke hostel by taksi.

Berburu Bandeng dan wingko babat
Jl Pandanaran di malam hari sebagai pusat oleh-oleh

Hari ini hari terakhir saya mengakhiri trip Karimun-Semarang. Saya hanya punya waktu setengah hari untuk menjelajah Semarang. Memang nggak cukup, rencana mengunjungi klenteng Sam Poo Kong tapi apa daya waktu saya terbatas.

Oiya saya sempat shuttle  gratis. Mobil ini tipe Elf 12 orang, kalau dilihat dari gambar stiker di bodi mobil ditujukan sebagai kendaraan wisata keliling Semarang. Kami hanya menunggu di halte shuttle yang sudah disediakan dan shuttle akan berangkat berapa pun jumlah penumpangnya. Sayangnya ini masih uji coba, jadi rute yang dilaluinya sangat pendek sebagai shuttle wisata. Pemkot Semarang baru berencana menambah pemberhentian wisata nanti. Oke fix nanti saya main lagi ke Semarang.

Saat ini shuttle gratis baru melayani pusat kuliner Batan, Jl MH Thamrin, Jl Pandanaran, Tugu Muda, dan kembali ke Pandanaran. Shuttle beroperasi dari jam 07:00 – 22:00 WIB dan kendaraan ini terbilang masih baru. Ya Pak Ganjar, gambar shuttlenya gereja blenduk Kota Lama, tapi shuttlenya nggak sampai sana L.
Shuttle bus gratis

Apalagi kalau bukan Bandeng dan wingko yang kami borong untuk keluarga dan rekan kantor. Secukupnya aja sih biar nggak dibilang pelit, kalau aja orang tahu kalau namanya ngetrip atau traveling itu butuh finansial yang nggak sedikit juga, biar kata temanya backpakeran. (malah curhat)
Pusat oleh-oleh banyak berjejer di sepanjang jalan pandanaran. Shuttle gratis juga berhenti di sini.

Saya terasa dikejar waktu, karena kereta berangkat jam 19:25. Si ibu hostel baik hati mengijinkan ransel kami dititipkan di meja resepsionisnya. Daripada kami belanja oleh-oleh sambil gendong ransel.

Rutinitas harian memanggil kami sebagai pegawai teladan, saya pamit untuk penutup yang manis di Kota Semarang. Menuju Stasiun Semarang Tawang yang nggak kalah eksotis bangunannya dan bikin kangen.

FYI :
Hostel Imam Bonjol
Jl Imam Bojol 177B (alfamart) Semarang
500m dari Lawang Sewu

Senin, 25 Juli 2016

Setapak Solo Sejuta Cerita

Solo, untuk ketiga kalinya saya kesini. Karena dua kali cuma bolak-balik disekitaran Cemani, Tegalsari, Slamet Riyadi, dan Beteng Trade Center (BTC).

Kesempatan ketiga saya dan grup siap menjelajah kota Solo dan sekitarnya. Jumat siang selepas dari kantor kami menuju airport mengejar pesawat sore, sempat delay 1 jam (it’s okay alasan diterima). Agak gemes juga karena kami sudah boarding 1 jam tapi pesawat kok nggak take off jua, lagi-lagi traffic flight, oh Soetta. Perjalanan ditempuh 45 menit saja kami tiba di Adi Soemarno Solo. Tujuan kami langsung makan malam di Galabo, yang menarik sepanjang jalan dari airport kanan-kiri banyak sekali polisi, saya kira operasi zebra tapi usut punya usut kedatangan kami bertepatan dengan Presiden Joko Widodo ke Solo juga.  Ya sudahlah mungkin si bapak kangen mbok’e.
anak-anak SD siap berjejer di pinggir jalan menyambut presiden
Galabo (Gladag Langen Bogan) berada di pusat kota Solo, tepatnya di jalan Mayor Sunaryo depan Pusat Grosir Solo. Tempat ini merupakan jalan raya yang ditutup tepat pukul 17:00 sengaja dijadikan pusat kuliner malam. Sepanjang jalan ini berjejer makanan khas Solo yang terkenal seperti nasi liwet wongso lemu, timlo, tengkleng, dsb. Saya pilih makan nasi liwet ati ampela, wedang ronde, jeruk hangat, & karak. Yup, karak ini selalu jadi teman makan di Solo. Semakin malam Galabo semakin ramai ditambah ada live music, cozy, and romantic.
makan malam di Galabo, Solo
Pukul 22:00 kami menuju hotel yang  tidak jauh dari Galabo, Indah Palace Hotel terletak di jalan Veteran. Hotel ini berdesain Jawa keraton, dengan perabot Jawa mewah dan alunan gamelan Jawa. Sepertinya sih hotel lama karena beberapa sudut di kamar dan toilet ada jejak dimakan usia, tapi cukup nyaman kok.
Indah Palace Hotel Solo
Hari kedua jadwal padat untuk wisata alam dan wisata belanja. Selesai sarapan saya menuju Tawangmangu, karena lumayan jauh kami berangkat pagi pukul 07:00. Tawangmangu masuk kabupaten Karanganyar di kaki gunung Lawu, tempatnya dingin dan segar, mengingatkan saya pada kampung halaman ibu di Baturaden. Kurang lebih 1 jam saya tiba di Kawasan Wisata Tawangmangu. Sang driver sempat bingung mencari pintu masuk, maklum si bapak orang Semarang dan jarang ke luar kota Solo.

Tujuan pertama kami Gerojogan Sewu (pancuran seribu-red), untuk sampai loket masuk saya harus berjalan kaki ±300m. Saya sempat diingatkan untuk menjaga barang-barang dan lebih baik tidak perlu membawa makanan dan minuman karena banyaknya monyet dikawasan itu. HTM untuk turis lokal Rp 11.000,- dan turis bule Rp 110.000,-. Saya harus menuruni seribu anak tangga (katanya) untuk sampai ke air terjun, mungkin itu sebabnya dinamakan Gerojogan Sewu. Anak tangga ini cukup nyaman dan tidak begitu curam di sisinya diberi pegangan besi, tapi kenapa semakin lama kaki ini malah bergetar ya, ah masa saya udah nggak kuat sih.
Tangga menurun menuju air terjun, feeling enjoy


Udaranya sejuk, pemandangannya asri, dan jalannya aman. What a perfect travel !
Sampailah pada plang bertulis air terjun, rasanya nggak bisa ngebayangin bagaimana nanti pulangnya harus naik tangga sebanyak itu. Wow, liat air terjunnya dari kejauhan, entah berapa meter tingginya. Mungkin karena masih jam 09:00 pagi belum banyak orang dan matahari bersinar sedang bagus-bagusnya. Jangan sia-siakan cuaca yang bersahabat ini untuk berfoto ria.
Air terjun Gerojogan Sewu, Karanganyar, Jawa Tengah

Aliran air terjun
my team
Seperti di daerah gunung lainnya, disini terkenal panganan sate kelinci. Sebenarnya pernah commite untuk nggak makan daging hewan lucu itu, tapi karena pernah icip penasaran di food court salah satu mall di Bekasi, kok rasanya enak bin empuk banget, jadi jatuh cinta sama lumernya dimulut, jadi saya ikutan pesan deh. Satu porsi harganya Rp 12.000,-. Agak nggak tenang sih makannya karena kehadiran monyet-monyet jahil yang selalu kelaparan. Kata si ibu tukang sate, “pegang batu aja, nanti dia takut.” Wah ternyata sukses, si monyet cuma bisa manyun menatap nanar.
Si monyet sukses merampas kantong makanan pengunjung, yey dapat susu ! bravo nyet !

Jam 10:30 kami siap kembali ke kota Solo dan langit pun mulai mendung, yah maklum namanya juga di gunung cuacanya pasti begini, sendu. Tadinya saya dan grup pulangnya ingin naik kuda, eh ternyata kalau mau naik kuda harus pesan dulu saat beli tiket masuk. Mungkin karena Allah tahu kami anak sholeh dan sholehah, si mas tukang foto di sana memberi jalur berbeda untuk pulang. Satu orang naik ojek untuk memanggil mobil kami, dan saya juga lainnya berjalan kaki di tengah rintik. Alhamdulillah masuk dan pulang kami melewati jalur menurun, jadi aman deh kakinya buat di pakai shoping.

Sebenarnya di sekitar Tawangmangu banyak tempat wisata lain seperti telaga, candi Sukuh, Candi Cetho, dsb. Namun, karena takut tidak cukup waktu ya next time lah. Kembali ke Solo, tujuan ke Kampung Laweyan, kampung ini terkenal sebagai kampung batik. Sejarahnya kampung ini merupakan tempat saudagar-saudagar batik tinggal dan memproduksinya. Makanya di kampung ini beberapa rumah masih bergaya kuno khas orang berada pada jamannya. Seperti salah satu masjid yang saya singgahi untuk shalat dzuhur di Laweyan. Tertulis masjid ini dibangun tahun 1945, sangat vintage Jawa Belanda (entah kenapa saya selalu jatuh cinta dengan yang berbau Indonesia vintage). Kekhasannya yaitu dinding tebal, tempat wudhu bak besar, lampu gantung minyak, pintu dan jendela kayu yang besar, dan pilar kayu yang tinggi. Sayangnya masjid ini kurang terawat dan kotor.

Saya dan grup mampir ke satu house butik depan masjid, Pria Tampan namanya. Seperti namanya yang mempesona, baju yang dijual juga berkualitas dan termasuk murah (murah dibanding baju yang dibuat borongan atau pabrikan), karena info yang diterima baju yang diproduksi dan dijual di Laweyan merupakan home industry. Saya cukup pengalaman, makanya saya langsung beli 3 atasan (hehe).

Mobil melaju ke Warung bu Hj Ani untuk late lunch kami. Tengkleng dan sate buntel. Sate buntel merupakan daging sapi cincang yang dibungkus lemak lalu ditusuk bambu. Satu kata, mblenger. Selesai makan siang, wisata belanja dilanjutkan menuju pasar Jongke sebuah toko bernama Cokro. Toko oleh-oleh ini rekomendasi tetangga saya yang asli wong Solo, katanya lebih murah. Oleh-oleh khas Solo selain batik ya panganannya macam intips, kripik paru, kripik ceker, abon, enting-enting, brem, ampyang, dsb.

It’s time to batiks hunting, Pusat Grosir Solo. Tadinya jadwal mau ke Pasar Klewer, tapi si driver nggak menyarankan karena banyak copet (sebelumnya saya juga sudah sering dengar cerita itu). PGS ini semacam ITC kalau di Jakarta, kebanyakan toko menjual batik jadi, kain, maupun kaos bertuliskan Solo. Batik ada macamnya yang paling mahal batik tulis, murah batik cap, dan luwih murah batik printing. Batik Jawa Tengah seperti Solo lebih ke motif klasik seperti kawung, parang, dsb. Dalam warna, Batik Solo lebih kearah warna tanah seperti coklat dan hitam. Kalau ke Solo nggak afdol rasanya kalau nggak borong batik, yang penting ingat budget. Puas dan tersadar tangan pegal bawa belanjaan, saya berhenti dan kembali ke hotel.

Saya dan grup bersiap santap malam mencari tempat kuliner, kami menuju Ngarsopuro Night Market. Lagi-lagi ini merupakan jalan raya yang tiap Sabtu-Minggu sengaja ditutup dari pukul 19:00 sebagai tempat pasar malam, yang boleh berdagang di tempat ini hanya pemilik KTP Solo, well ini merupakan warisan peninggalan mantan Gubernur Pak Jokowi. Saya berkeliling dari ujung ke ujung, seperti pasar malam biasanya banyak dijual baju dan pernak-pernik. Tapi, saya nggak menemukan tempat makan, hanya terlihat gerobak kopi pop mie saja. Saya dan grup memutuskan ke Kota Barat Solo yang terkenal dengan lesehannya. Saya memesan belut goreng penyet dan teh gitelnas (legi kentel panas), by the way wong Solo memang penyuka teh manis panas (manis kental panas-red). Perut terisi, siap isi tenaga untuk jadwal besok.

Hari ketiga, awalnya saya ingin sekali naik bis tingkat wisata Solo Werdukara, bis merah dengan tiket Rp 20.000,- mengajak wisatawan keliling kota Solo. Tapi sayang, karena harus memesan tiket minimal 1 hari sebelum hari H, saya dapat tiket jam 12:00 siang, dihitung-hitung tidak cukup waktunya sampai ke airport maka saya batalkan.
Tujuan pertama ke Keraton Kasunanan Hardiningrat Surakarta. Sebelumnya kami sarapan di soto gading yang ramainya minta ampun, padahal masih jam 07:00 dan hari Minggu pula. Soto gading sama seperti soto Surabaya namun porsinya sedikit, disebut gading karena ada di daerah bernama Gading. Pelengkapnya ada tempe goreng, paru goreng, brutu, sosis solo, dll yang tersaji di meja dengan nampan kecil.
Soto Gading Solo bersama pelengkapnya tersaji di meja. Nom nom
Ternyata saya kepagian sampai Keraton Kasunanan, loket baru buka 1 jam lagi. Buang waktu saya dan teman yang lain menyewa becak keliling dari alun-alun selatan ke alun-alun utara hanya dengan Rp 30.000,-. Alun-alun keraton seperti di Jogja merupakan lapangan terbuka yang dikelilingi pagar tembok dan ada 2 pohon beringin di tengahnya. Sepanjang jalan saya melewati perkampungan rumah para abdi keraton yang serasa berada di tempo dulu, kandang kebo kramat si kerbau bule, kereta raja, dan kereta jenazah raja.

Becak memasuki kampung batik Kauman, sebenarnya ini nggak masuk jadwal dan saya berniat hanya lewat saja. Tapi  apa boleh dianya, sayang kalau nggak berhenti dan tengok-tengok dulu (okay fix, saya kalap lagi). Kampung Kauman ini seperti Laweyan, dimana warganya memproduksi batik home industry. Kalau di Kauman kualitasnya memang dibawah Laweyan, tapi soal harga sama (hehe). We’ll back at Keraton. HTM Rp 5.000,- kalau bawa kamera tambah biaya Rp 3.500,-. Memasuki keraton, saya diwajibkan membuka alas kaki.

Pertama saya memasuki keraton rasanya adem, tenang, dan teduh. Bangunannya mirip selasar rumah sakit dengan cat dominan putih dan biru dengan lampu minyak gantung yang apik, tapi terlihat sudah diganti dengan bohlam. Pekarangannya ditumbuhi pohon sawo kecik yang berjejer rapi dan bukan tanah yang saya injak melainkan pasir dari 3 tempat (pasir gunung Lawu, Parangtritis, dan satu lagi saya lupa). Konon cerita si abdi tukang sapu keraton, “dulu keraton pernah terbakar, untuk memadamkannya memakai 3 pasir (yang disebutkan).”
Tampak depan Keraton Kasunanan Hardiningrat pagi hari, masih sepi. Yang oranye dekat tiang bukan penampakan.
Saya berkesempatan wefie (foto bareng) dengan abdi penjaga keraton lengkap dengan seragam dan pedangnya. FYI, foto dengan mereka diminta uang sukarelanya. Salah satu bangunan yang menarik adalah menara, katanya di sanalah sang raja kalau bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Keraton juga dilengkapi museum yang isinya foto para Raja Paku Buwono, silsilah, dan barang antik koleksi keraton lainnya.
Wefie dengan prajurit keraton
Barisan pohon sawo kecik dalam pekarangan keraton

Menara Keraton yang konon tempat bertemunya Raja dengan Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul

Koleksi museum Keraton Kasunanan Hadiningrat Surakarta

Selasar dan pendopo dalam keraton Kasunanan Hadiningrat Surakarta
Tujuan kedua, Pura Mangkunegaraan, ini merupakan “keraton” kedua di Surakarta, tapi disebut pura (istana-red). Keraton ini lebih kecil dan tidak terdapat alun-alun. HTM Rp 10.000,- dan harus memakai guide yang dibayar sukarela. Memasuki puro seperti memasuki istana bogor, padang rumput dan kolam ikan yang besar. Ornamen Eropa terlihat dari pintu masuk pendopo, patung singa dan wanita yang katanya hadiah dari orang Belanda jaman dahulu. Memasuki pendopo saya diwajibkan melepas alas kaki, ada 4 pilar kayu ditengah yang katanya merupakan satu pohon yang dibagi 4, siapa yang bisa memeluk salah satu pilar bertemu tangan maka keinginannya terkabul. Beberapa orang di grup melakukannya, lumayan lah buat hiburan melihat ekspresi mereka yang mati-matian nggak bisa haha.
gimana, tangannya belum ketemu tuh !
Beberapa koleksi luar keraton

Saya diajak masuk sebuah ruangan no camera, karena di sana tersimpan barang-barang koleksi puro seperti perhiasan, uang, senjata, mainan pangeran dan putri, dan sebuah tempat pingit pengantin yang saya perhatikan seksama malah bikin merinding. Saya simpulkan bahwa keraton itu tempat yang adem dan teduh, namun kental suasana mistisnya, bisa dimaklumi karena suku Jawa masih menggunakan kejawennya.

Kami sempatkan mampir ke museum Radya Pustaka Solo yang berisi barang-barang sejarah Surakarta dan ke Museum Batik Danar Hadi tapi saya datang bertepatan jam istirahat daripada menunggu kami urungkan. Saya makan siang di rumah makan searah bandara di RM Taman Sari yang menyediakan masakan khas Solo. Tidak pakai pilah-pilih saya langsung ambil garang asem dan tahu bacem. Garang asem merupakan daging ayam yang diberi kuah asam lalu dibungkus daun pisang, karena lidah saya sudah Jawa Jakarta jadi rasa kuahnya bukan asam tapi manis (huhu Jawa sekali).

Ada cerita menarik saat sampai airport, saat checkin di boarding sudah ada info kalau pesawat kami delay 2 jam (what?!!! Gue masih bisa keliling naik bis werdukara kalau begini!!!) Ok, tahan emosi, karena orang sabar nanti disayang pacar (pacarnya sapeh?!). Pesawat yang murah yang saya tumpangi ini emang hobi banget delay. Dulu saat pulang dari Palembang, jadi ini nasi bungkus kompensasi kedua saya, makasih loh singa terbang. But it’s ok, i had a best team, made me laugh everytime. Solo, Spirit of Java, Yes I’ll be back next time.

Senin, 20 Januari 2014

MIMI LAN MINTUNO

“Berdua koyo mimi lan mintuno, ya”. Celetukan itu berasal dari seorang senior kantor saya, perempuan manis asal Yogyakarta. Celetukan itu terasa asing buat saya, sejak awal saya mendengar istilah itu saya hanya mampu menghafal mintuna-nya saja. Saya sempat tanyakan apa itu “mintuna” ke orangtua saya yang keturunan Jawa. Alhasil mereka malah bingung dengan pertanyaan saya. Karena tidak berhasil mendapat jawaban, saya ambil kesimpulan sendiri saja kalau Mintuna itu kisah dongeng Jawa, pewayangan Jawa, atau legenda dari tanah Jawa.

Waktu berselang, pembahasan mintuna muncul lagi kepada saya. Sekalian saja saya tanya teman kantor yang tulen Jawa, masih bertutur medok, pokoknya “nganunya” masih kentel banget. Dari laki-laki Pati inilah saya dapat pencerahan “Mimi lan Mintuno”. Bahwa Mimi Mintuno itu laki-laki dan perempuan yang selalu bersama dan bila dipisah maka akan mati. Titik, penjelasan itu saja yang saya dapat cukup membuat berdecak kagum ternyata banyak kisah cinta sejati seperti itu yang belum saya tahu.

Rasa penasaran saya semakin menjadi, karena saya belum dapat kepastian Mimi Mintuno itu cerita tentang apa dan berwujud seperti apa. Saya coba cari di Google, tapi nihil (mungkin saya salah keyword hehe). Sampai akhirnya saat saya bersiap berangkat kerja, pagi itu saya dialihkan sebuah tayangan TV mengenai makanan unik Indonesia “Mimilan Mintuno”, kata yang tidak asing dan menggugah ingatan saya. Aha ! Ternyata Mimi lan Mintuno itu seekor hewan pantai/mangrove, bentuknya seperti serangga, dan punya cangkang seperti kepiting.

Berikut penjelasan dari wikipedia. Belangkas (suku Limulidae) mencakup empat jenis hewan beruas (artropoda) yang menghuni perairan dangkal wilayah paya-paya dan kawasan mangrove. Orang Jawa menyebut Mimi untuk yang berjenis kelamin jantan dan mintuna untuk betina. Hewan ini monogamik, sehingga sering dijadikan simbol kelanggengan suami istri. Orang Inggris mengenalnya sebagai horseshoe crab atau "ketam ladam" karena bentuknya dianggap mirip tapal kuda.
Mimi lan Mintuno (sumber: wikipedia)

Dari pencarian saya mengenai berita dan gambar di internet, hewan ini selalu sepasang dan kemana pun selalu berdua (bisa digoogling kalau tidak percaya). Bahkan banyak menceritakan Mimi Mintuno ini jika dimasak pun harus sepasang karena kalau hanya dimasak salah satu makan akan menjadi racun. Benar tidaknya saya pun belum membuktikan. Tapi saya menangkap makna Mimi lan Mintuno ini, bahwasanya semua yang diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan, saling berbagi, saling menghargai, saling mengisi, saling menutupi, seiring sejalan sampai maut memisahkan, indah kan ! Seindah pencarian saya mengenai kisah Mimi lan Mintuno ini.

Eng ing eng, dan sekarang yang kembali membuat saya penasaran adalah ingin melihat dan memfoto langsung Mimi lan Mintuno itu.

Kamis, 11 April 2013

APA AKU BAHAGIA ?!


Sebenarnya apa yang orang cari dari kehidupan ini?!
Kebahagian, kesenangan, uang, cinta, atau apa. Kalau orang sudah memperoleh itu semua atau salah satunya, apa artinya dia sudah mendapat apa yang mereka cari?!
Sesederhana itukah?! Tapi aku rasa tidak, tidak sesederhana itu.

Merunut sifat manusia yang tidak pernah puas dan penasaran, bukan hanya pada hal baru bahkan yang lalu.
Seseorang yang berasal dari keluarga baik-baik dan tanpa konflik, memiliki prestasi pendidikan dan karir yang cemerlang, ditambah inner dan outner yang menawan, dan memperoleh siklus hidup yang normal dan terarah. Menikah dengan jodoh yang tepat, memiliki anak yang tumbuh besar dengan sempurna, dan karir seperti ilmu padi yang semakin cemerlang. Bukankah kesenangan, uang, cinta, dan kebahagian sudah mereka dapat?! Sesempurna itu hidup, lalu, apa manusia benar-benar mendapat kebahagian yang sebenarnya?! Kutanyakan pada diriku, ku jawab “IYA” namun dengan ragu. Bagaimana dengan kalian?!

Apa kalian benar-benar merasa bahagia yang sebenarnya?! Tanya hati ini, dia tidak akan pula menjawab namun MERASA.

Punya uang banyak dan pasangan yang sempurna, apa itu namanya bahagia?! Itu hanya salah satu cara manusia mencoba bahagia.

Tapi saya setuju, bagi mereka yang melihat kebahagian ada saat melihat wajah anak dan orangtua mereka. Tapi, wajah itu hanya obat, obat pengalihan manusia dari penat.

Pernahkah kita menanyakan pada orangtua, pasangan, dan diri sendiri, apa kalian/aku bahagia?! Bahagia sesaat atau hanya mencoba bahagia?!

Bahagia itu semu. Bahagia itu tidak memiliki takar pasti. Bahagia itu milik siapapun yang mencoba BERSYUKUR. Yap, bersyukur menjadi jawaban apa itu kebahagian.
Lewat bersyukur Tuhan mengajarkan manusia mengontrol kebahagian, tidak lebih dan tidak kurang. Nikmati prosesnya dan Syukuri hasilnya, itulah skenario Tuhan.

Senin, 08 April 2013

INI TENTANG CINTA


Cinta itu misteri. Hidup itu drama. Hidup ini pesakitan bagi kita yang menjalaninya dan lelucon bagi yang menyaksikannya. Terbahak kita menonton drama orang lain, tapi terhina kita melakoni drama ini.
Cinta, menguji kita dalam drama ini. Cinta, bumbu termanis sekaligus terpahit dalam drama ini. Cinta, malaikat sekaligus iblis dalam drama ini.

Cinta, mencoba merasuk jiwa sang lakon, memberi setetes indah. Ia menghadirkan senyum, menggetarkan melodi detak jantung, tubuh pun bersinergi dengan semua organ vital di dalamnya. Oksigen menyergap tiap aliran darah, selaksa berdiri di padang rumput tanpa ujung, aroma wangi bunga membius sang lakon pada harapan “masih ada sang surya yang setia”.
Lalu sang lakon berceloteh merdu, “Aku bisa melangkah seringan ini, cinta”;
“Cinta, membuatku lebih bahagia”;
“Cinta, kau membuatku lebih bermakna”;
“Cinta, kau bagian dari hidup, jiwa, dan hatiku”; dan… cinta oh cinta.
Tiba-tiba HATI menjadi organ yang paling ekstra bekerja melebihi OTAK. Cinta melumpuhkan logika, percayalah itu benar adanya. Karena cinta lebih tahu dimana titik kelemahan si sang lakon.

Cinta tidak jahat. Cinta tidak pernah memilih sang lakon. Justru sang lakon lah yang secara tidak sadar membawa cinta di dalam dirinya.
Cinta menjadi jahat kala ia membutakan sang lakon. Ia menjadi jahat kala HATI lebih berkuasa ketimbang OTAK. Ia menjadi jahat kala setetes indah itu telah menjadi ketakutan. Detak jantung tak lagi seirama, sesak menyergap tiap sela pembuluh darah, dan tubuh pun tak lagi bersinergi satu sama lain selaksa berdiri di padang pasir tandus tanpa ujung, aroma bangkai dan hawa panas menyadarkan sang lakon pada kenyataan “masihkah ada sang surya?”.
Lalu sang lakon berceloteh bingung, “Mengapa langkahku menjadi tertatih?!”;
“Mengapa kau membuatku sedih, cinta?!”;
“Dimana kau saat aku sekarat ini, cinta?!”; dan… cinta terdiam.
Nila setitik itu bereaksi menjadi pesakitan. Pesakitan itu pun mulai melumpuhkan HATI sang lakon.

Tapi, sekali lagi, cinta tidak jahat. Cinta pula menjadi penawar pesakitan itu. Sekali cinta merasuk tubuh, percayalah cinta tak kan pernah meninggalkan sang lakon. Cinta menjadi bagian jiwa drama sang lakon. Namun cinta sudah tertakdir memiliki siklus seperti itu, seperti drama, dan sang lakon tidak diberi kesempatan untuk tidak memilih cinta.

Drama ini benar-benar indah, walau sang lakon dalam pesakitan sekalipun. Aku, dan aku tidak pernah menyesal sedikit pun berada di drama ini. Sedikitpun aku tidak membenci cinta. Jujur aku tak ingin cinta hilang dari bagian dramaku ini. Drama ini membuatku mendapat peran utama sebagai sang lakon cinta. Bukan sebagai Cinderella yang menderita lalu bahagia, bukan serigala kerudung merah yang licik lalu kalah, tapi sebagai perempuan yang bahagia lalu bahagia.

Saat segala upaya telah dilalui, dijalani, dan dilakoni namun cinta membuatmu lelah, ikhlas-lah… biar Allah yang campur tangan, maka, itulah CINTA.

(ditulis 16 November 2012)